Interelasi Nilai Islam dan Jawa (Pewayangan, Arsitektur, dan Politik)
Disusun Oleh:
1.
Dwi
Intan P.
2.
Niswatun
Hasanah
3.
Irhaz
Puja L.
4.
Firda
Fadlilatud D.
5.
Sabrina
Dwi P.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Orang
jawa adalah orang yang religius, sejarah membuktian bahwa sejak sebelum
islam datang ke jawa mereka sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap
agama. Hampir setiap kerajaan meninggalkan tempat-tempat pemujaan, misalnya
candi-candi bagi umat hindu dan masjid-masjid bagi umat islam. Islam masuk ke
Jawa dengan cara damai tanpa adanya unsur kekerasan.
Istilah
kebudayaan secara etimologi berasal dari kata buddhayah yang berarti akal.
Kebudayaan adalah merupakan keseluruhan pengetahuan yang diterima dan
diberlakukan sebagai pedoman dalam bertindak, islam masuk di kawasan pulau jawa
sangatlah mudah dan cepat. Hal tersebut terbukti dengan menyebarnya islam
keseluruh pelosok wilayah nusantara terutama pulau jawa. Islam dalam
penyebaranya sangatlah memperhatikan kearifan lokal tanah nusantara yakni
dengan melestarikan budaya-budaya asli yang ada sebelumnya, hanya mengganti
substansinya saja sebagaimana ajaran islam. Kebudayaan yang berkembang dijawa
sangatlah beragam, hal itu tidak lepasa dari peran serta agama-agama yang masuk
pada wilayah ini. Namun islam jauh lebih sukses dan berpengaruh pada kebudayaan
jawa dikarenakan proses islamisasinya yang arif dan juga sarana yang beragam.
Sarana penyebaran islam salah satunya menggunakan aspek kesenian.
Dalam konteks Indonesia, kebudayaan
Jawa merupakan salah satu kebudayaan lokal yang berpengaruh penting karena
dimiliki sebagian besar etnik di Indonesia. Nilai-nilai Islam memiliki arti
penting bagi kebudayaan Jawa karena mayoritas masyarakat jawa beragama dan
memeluk agama Islam. Dalam kehidupan keagamaan, kecenderungan untuk memodifikasi
atau menggabungkan Islam dengan kebudayaan Jawa yang disebut juga sebagai
interelasi.Dalam kamus besar bahasa Indonesia, Interelasi
berarti hubungan satu sama lain. Jadi yang dimaksud interelasi
disini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan
Islam dari berbagai aspek kepercayaan dan ritual. Dalam makalah di bawah ini, kami
akan membahas tentang Interelasi Islam dan Jawa dalam berbagai bidang,
khususnya dalam bidang perwayangan, arsitektur, dan politik.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
interelasi Islam dan Jawa di bidang kesenian wayang?
2. Bagaimana
interelasi Islam dan Jawa di bidang arsitektur?
3. Bagaimana
interelasi Islam dan Jawa di bidang politik?
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui interelasi nilai Islam dan Jawa di bidang kesenian wayang.
2. Untuk
mengetahui interelasi nilai Islam dan Jawa di bidang arsitektur.
3. Untuk
mengetahui interelasi nilai Islam dan Jawa di bidang politik.
BAB
II
PEMBAHASAN
1. Interelasi Nilai-nilai Islam dan
Jawa dalam Bidang Kesenian Wayang
Wayang merupakan salah satu kesenian
asli Indonesia yang mana sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan peradaban
dunia.Sebelum menelisik lebih lanjut mengenai wayang, maka perlulah kiranya
kita tahu definisi dari wayang.Secara harfiyah wayang adalah bayangan. Sedangkan
menurut istilah adalah boneka tiruan orang dan sebagainya yang terbuat dari
pahatan kulit atau kayu yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh dalam
pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda) dan biasanya dimainkan oleh
dalang. Selain itu wayang juga dapat dikatakan sebagai identitas utama dari
manusia jawa yang menerangkan betapa lekatnya wayang dalam kehidupan manusia
jawa.[1]
Dalam kesusastraan jawa kuno
disebut, bahwa pertunjukan wayang purwa (wayang kulit) dikenal menjelang
pertengahan abad ke-11, menurut Dr. Brandes sejak tahun kurang lebih 700 saka
(kurang lebih 784 M) melihat istilah-istilah teknis pewayangan yang terlalu
kuno dan sukar sekali untuk dicari keterangan-keterangan artinya Dr.G.A.J.
Hazeu (tesis tahun 1897) menyimpulkan bahwa wayang dipulau jawa ialah ciptaan
bangsa jawa sendiri. Keyakinan bahwa wayang berasal dari jawa sendiri juga
dikemukakan oleh sri mulyono. Ia juga menganalisis dari segi bahasa yang
tampaknya istilah-istilah teknis dalam pewayangan, alat-alat yang digunakan
dalam pertunjukkan, ternyata dari dulu hingga sekarang masih tetap sama.[2]
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa wayang kulit berasal dari bangsa
Indonesia di jawa.
Interelasi nilai jawa dan islam
dapat aspek wayang merupakan salah satu bagian yang khas dari proses
perkembangan budaya jawa. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan berfungsi
sebagai tuntunan kehidupan. Wayang sendiri merupakan pencerminan dari
sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia, seperti angkara murka, kebajikan,
serakah. Selain itu juga merupakan suatu bentuk upaya religi dalam seni
pertunjukan. Adapun jenis-jenis wayang yang dikenal oleh masyarakat jawa diantaranya
yaitu wayang kulit/purwa, wayang klithik, wayang golek, dan wayang beber.
Sedangkan interelasi kebudayaan jawa dan islam dalam pewayangan ini
mencapai titik temu yaitu pada sangkalan tanda jaman.
Wayang mengandung makna lebih jauh
dan mendalam karena mengungkapkan gambaran hidup semesta (wewayange urip).[3]
Wayang dapat memberikan gambaran lakon kehidupan umat manusia dengan segala
masalahnya. Dalam dunia pewayangan tersimpan nilai-nilai pandangan hidup jawa
dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan dan kesulitan hidup. Dalam seni pewayangan nampak sekali
kolaborasi antara seni jawa dan islam dengan adanya wayang walisongo. Selain
itu, pendekatan ajaran islam dalam kesenian wayang juga tampak dari nama-nama
tokoh punakawan, yaitu semar (siap sedia), gareng (kebaikan), dan pitruk
(tinggalkan). Kesenian Wayang yang ceritanya
bersumber dari Kitab Mahabaratha, telah menarik perhatian masyarakat Jawa.
Karena itu, para wali menggunakannya sebagai media da’wah dengan menciptakan
kisah baru yang dimasuki unsur Islam. Salah seorang wali yang sering mengadakan
pertunjukan wayang adalah Sunan Kalijaga.[4]
Wali adalah
sekelompok manusia pilihan Allah SWT yang diberi perintah untuk membawa umat ke
jalan yang benar dan diridhoi oleh Allah. Membahas tentang wali tidak lepas
dengan yang namanya Walisongo. Walisongo adalah sebuah majelis dakwah yang
pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun
1404 Masehi (808 Hijriah). Saat itu, majelis dakwah Walisongo beranggotakan
Maulana Malik Ibrahim sendiri (Sunan Gresik), Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati,
Sunan Kudus, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Drajat, dan Sunan
Kalijaga. Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat
pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi
peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Adapun peninggalan-peninggalan
Walisongo antara lain: Masjid
Malik Ibrahim Pesucian Leran, Masjid Rahmat Surabaya Sunan Ampel, Masjid Menara
Kudus, Masjid Sunan Giri, Masjid Agung Demak, dan lain-lain. Selain peninggalan masjid, Walisongo
juga meninggalkan beberapa kebiasaan yang saati ini masih lekat di masyarakat.
Peninggalan tersebut antara lain tahlilan, memberikan jajanan pasar sebagai
simbol tertentu, wayang, sematan 4 bulanan, dan lain sebagainya.[5]
Upaya
melestarikan peninggalan Walisongo
1.
Melakukan
pendataaan dan pencatatan berbagai peninggalan sejarah.
2.
Memperkenalkan
peninggalan tersebut kepada banyak orang agar tidak punah.
3.
Mengumpulkan
benda-benda bersejarah dan disimpan di dalam museum.
4.
Merawat
dan menjaga agar tidak rusak.
5.
Melakukan
pemugaran atau penataan kembali bangunan bersejarah yang sudah rusak.
6.
Menjaga kebersihan dalam masjid misalnya lantai, tiang dan
lain-lain. serta menjaga kebersihan luar masjid, misalnya halaman masjid, pagar
masjid, jalan dan lain-lain.
7.
Menjaga dan merawat peninggalan berupa peralatan dan
perlengkapan masjid, misalnya mimbar, bedug.
8.
Menyimpan menjaga, merawat peninggalan berupa kitab-kitab,
ukir-ukiran, alat-alat musik dalam tempat yang aman dan terawat misalnya museum.
9.
Mengadakan
acara wayang secara rutin baik oleh masyarakat setempat maupun oleh pemerintah
melalui televisi.
10. Membina kelompok kesenian wayang kulit.[6]
11. Mempromosikan seni wayang kulit sebagai ikon wisata.
2.
Interelasi
Nilai Jawadan Islam pada Bidang Arsitektur
a.
Arsitektur Agama (Masjid dan Makam)
Kata arsitektur berasal dari bahasa Yunani
yaitu architekton yang berbentuk dari
dua suku kata, yakni arkhe yang
bermakna asli, awal, otentik, dan tektoo
yang bermakna berdiri stabil, dan kokoh. Arsitektur islam adalah ilmu dan seni merancang
bangunan, kumpulan bangunan, struktur lain yang fungsional, dan dirancang berdasarkan
kaidah estetika Islam. Secara singkat, arsitektur adalah pengetahuan seni merancang
(mendesain) bangunan. Adapula yang mengartikan arsitektur merupakan perkara bangun
membangun, perkara merangkai dan menegakkan bahan satu dengan bahan lain untuk melawan gravitasi yang cenderung menarik rebah
ketanah.
Arsitektur Islam sebagai cerminan budaya
sosial cultural masyarakat islam yang tengah berkembang pada periode waktu dan tempat
tertentu (selanjutnya disebut arsitektur budaya Islam Jawa). Hasil karya utama dalam
seni arsitektur Islam adalah Masjid sebagai konsekuensi dari ajaran islam yang
mengajarkan shalat dan masjid sebagai tempat pelaksanaannya. Kemudian muncul bangunan-bangunan
diluar masjid yang juga merupakan rangkaian ungkapan kehidupan islam sebagai fasilitas
yang menampung kebutuhan manusia, misalnya makam-makam, dan lain-lain.[7]
Interelasi
Islam Jawa sebenarnya sudah dapat dilihat dari awal mula Islam masuk di tanah Jawa,
karena penyebaran Islam di Jawa dilakukan menggunakan seni arsitekturnya. Seni arsitektur
tersebut berupa masjid. Sebelum Islam masuk di Jawa, masyarakat Jawa telah mempunyai
kemampuan dalam seni arsitektur.[8]
Islam
memunculkan kreativitas baru yang merupakan hasil asimilasi dua kebudayaan dan
sekaligus sebagai pengakuan dan keberadaan keunggulan muslim di Jawa dalam
arsitektur. Berikut interelasinya, antara lain :
1. Interelasi
nilai Jawa dan Islam pada arsitektur Masjid
a. Adanya
menara yang mirip dengan menru pada bangunan Hindu.
b. Adanya
lawang kembar, pintu gapura dan pagar bercorak Hindu.
c. Penggunaan
bentuk atas bertingkat/tumpang dan pondasi persegi.
d. Adanya
pawastren.
e. Adanya
bedug dan kentongan.
2. Interelasi
nilai Islam dan Jawa pada arsitektur Makam
a. Penggunaan
penanda pada makam seperti batu nisan dan ada pula yang diberi cungkup.
b. Ditempatkannya
makam di tempat yang tinggi.
c. Adanya
bangunan berlapis disekeliling makam.
d. Penggunaan
istilah pasarean (tempat tidur panjang).[9]
b.
Arsitektur Sipil
Interelasi nilai Islam dan Jawa memiliki arsitektur dan juga terdapat
tata ruang kota atau wilayah. Sejak Islam memiliki sebuah wilayah, maka umat
Islam telah memulai untuk memiliki kemampuan untuk menata kota dengan bangunan
yang jadi kepentingannya. Sebagai sebuah kerajaan Islam di Jawa, Mataram yang
merupakan lanjutan dari pengusaha kerajaan Hindu, Majapahit.[10]
Kerajaan tersebut memilki tata bangunan kota yang sangat dipengaruhi oleh nilai
lokal yang telah ada serta tata nilai baru yang dibawa oleh Islam. Salah
satunya yaitu Keraton yang merupakan pusat jaga raya. Pola pengaturan bangunan
di dalam Keraton tidak terlepas dari usaha raja untuk menyelaraskan kehidupan masyarakat
sekitar dengan jagat raya itu. Dengan demikian bangunan merupakan lambang yang
penuh arti. Pengaturan pola bangunan yang dilakukan dengan pola tengah yang
berarti pusat, kemudian diapit oleh dua lainnya yang terletak di depan dan beakangnya
atau kanan kirinya pengapitan itu berjumlah 4 atau 8 penempatannya sesuai dengan
arah mata angin.
Oleh karenanya tata
ruang kota di Jawa pasca kerajaan Hindu Jawa menggunakan konsep tata ruang yang
berlandaskan pada filosofi Jawa yang muatan isinya memakai konsep Islam. Hal
tersebut terlihat dengan penggunaan konsep mancapat dalam tata ruang desa-desa
di Jawa, tetapi unsur-unsur mancapatnya dengan nilai ajaran Islam, yaitu dengan
menempatkan keraton, masjid, pasar dan penjara dalam satu komunitas bangunan
yang berpusat pada alun-alun. Penataan semacam ini sering kali kita jumpai di
daerah Jawa seperti keraton Yogyakarta, Keraton Solo,dan lain-lain yaitu alun-alun
didepannya, dan masjid di sebelah Barat.
Kecuali itu ciri
khas jalan-jalan yang membelah dari pusat alun-alaun dan perkampungan yang
dihuni oleh komunitas orang santri yang disebut kauman telah menjadi ciri khas tata
kota di Jawa. Bentuk arsitektur tata kota yang lain dapat kita lihat pada bangunan
Tamansari dan hiasan-hiasan pada keraton seperti pada bangunan keratin Yogya
yang memiliki hiasan kaligrafi atau huruf-huruf arab, gapura masjid dan benteng.[11] Interelasi nilai Jawa dan Islam pada aspek
arsitektur tata kota antara lain :
a.
Terdapat
alun-alun yang menjadi pusat keramaian kota.
b.
Di
dekat alun-alun terdapat bangunan Masjid besar.
c.
Terdapat
pula Pendopo yang menjadi pusat pemerintahan.
d.
Tidak
jauh dari alun-alun, terdapat pasar yang menjadi pusat perdagangan.
3.
Interelasi
Nilai Islam dan Jawa dalam Bidang Politik
Pengaruh
Islam di Jawa pada bidang politik menjuruskan pada kegiatan umat untuk usaha
mendukung dan melaksanakan syari’at Allah SWT. Melalui sistem kenegaraan dan
pemerintahan. Dalam penyebaran agama Islam di Indonesia tidak lepas dari
politik yang dijalankan oleh para penguasa kerajaan pada masa itu masyarakat jawa juga mengalami perubahan struktur yang mana
perubahan itu dibagi menjadi empat tingkatan yaitu para raja, bupati, kepala
desa dan rakyat jelata.
Simbol
sinkretisme politik Jawa-Islam tampak menyolok pada gelar raja-raja Jawa Islam
seperti gelar Sultan, Kalifatullah, Sayyidin Panatagama, Tetunggul Kalifatul
Mu’minin, Susuhanan dan sebagainya. Gelar Ratu Tetunggul
Khalifatullah dipakai oleh Sunan Giri ketika menjadi raja pada masa transisi
antara dari kerajaan Majapahit dan Kerajaan Islam Demak. Sunan giri berkuasa
dalam keadaan vakum.
Pada masa ini tidak ada pemimpin
yang berdaulat, baik dari raja hindu maupun islam. Kerajaan majapahit yang
hindu telah runtuh sedangkan kerajaan islam yang nantinya Demak belum berdiri.
Sunan Giri hanya berkuasa dalam waktu 40 hari pasca keruntuhan majapahit tahun
1478M oleh serangan seorang raja Grindera wardhanadan Keling Kediri. Setelah
masa peralihan 40 hari ini, sunan Giri menyerahkan kedaulatan kepada raja islam
yang permanen yaitu raden fatah, dialah raja dari kerajaan islamDemak. Simbol sinkretisme politik islam jawa juga terdapat pada
raja-raja jawa yang dipegang Sri Sultan Hamengkobuwono selain sebagai raja
(kekuasaan politik) juga sebagai sayidin panatagama (pemimpin agama). Dengan
demikian seorang raja juga islam karena tidak mungkin non islam menjadi sayidin
panatagama, disini adalah penata agama untuk islam. Inilah strategi politik
jitu dari para pendahulu kita. Suatu proses
Islamisasi dengan cara yang amatarif, cultural, walaupun sinkretis.[12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Interelasi
nilai jawa dan islam dapat aspek wayang merupakan salah satu bagian yang khas
dari proses perkembangan budaya jawa. Wayang berfungsi sebagai tontonan dan
berfungsi sebagai tuntunan kehidupan.
2. Peninggalan
Walisongo
Peninggalan-peninggalan
walisongo antara lain; Masjid Malik Ibrahim Pesucian Leran, Masjid Rahmat
Surabaya Sunan Ampel, Masjid Menara Kudus, Masjid Sunan Giri, Masjid Agung
Demak, dan lain-lain. Selain peninggalan masjid, Walisongo juga meninggalkan
beberapa kebiasaan yang saati ini masih lekat di masyarakat. Peninggalan
tersebut antara lain tahlilan, memberikan jajanan pasar sebagai simbol
tertentu, wayang kulit, sematan 4 bulanan, dan lain sebagainya.
3. Interelasi
nilai Jawa dan Islam pada arsitektur Masjid
a. Adanya
menara yang mirip dengan menru pada bangunan Hindu.
b. Adanya
lawang kembar, pintu gapura dan pagar bercorak Hindu.
c. Penggunaan
bentuk atas bertingkat/tumpang dan pondasi persegi.
d. Adanya
pawastren.
e. Adanya
bedug dan kentongan.
4. Interelasi
nilai Islam dan Jawa pada arsitektur Makam
a. Penggunaan
penanda pada makam seperti batu nisan dan ada pula yang diberi cungkup.
b. Ditempatkannya
makam di tempat yang tinggi.
c. Adanya
bangunan berlapis disekeliling makam.
d. Penggunaan
istilah pasarean (tempat tidur panjang).
5. Interelasi
Nilai Islam dan Jawa dalam bidang arsitektur sipil
a. Terdapat alun-alun yang menjadi pusat keramaian kota.
b. Di dekat alun-alun terdapat bangunan Masjid besar.
c. Terdapat pula Pendopo yang menjadi pusat pemerintahan.
d. Tidak jauh dari alun-alun, terdapat pasar yang menjadi pusat
perdagangan.
6. Interelasi
nilai Islam dan Jawa dalam bidang politik.
Pengaruh Islam di Jawa pada bidang politik menjuruskan
pada kegiatan umat untuk usaha mendukung dan melaksanakan syari’at Allah SWT.
Melalui sistem kenegaraan dan pemerintahan.
Simbol sinkretisme politik Jawa-Islam tampak menyolok pada
gelar raja-raja Jawa Islam seperti gelar Sultan, Kalifatullah, Sayyidin
Panatagama, Tetunggul Kalifatul Mu’minin, Susuhanan dan sebagainya.
B.
Kritik dan Saran
Demikian makalah
ini kami buat, semoga makalah ini bermanfaat. Kami sadar dalam penulisan
makalah ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca agar kami bisa lebih baik lagi
kedepannya.
Daftar Pustaka:
Azra,
Azymardi. Ensiklopedi Islam. Jakarta:
Ichtiar baru. 1997.
Darori, Abdul Amin, dkk.
Islam dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Gama Media. 2000.
http://santimelyana.blogspot.co.id/2013/04/interelasi-islam-dan-budaya-jawa-pada.html
Myrtha
, Soeroto. Pustaka Budaya dan Arsitektur Jawa. Yogyakarta : MYRTLE
Publishing.
2011.
Rochym, Abdul. SejarahArsitektur
Islam. (Bandung:Angkasa). 1983
Suhandjati, Sri. Islam dan Kebudayaan Jawa
Revitalisasi Kearifan Lokal. (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya). 2015.
Sujamto.WAYANG
& BUDAYA JAWA. (Semarang: DAHARA PRIZE). 1992
Zarkasi
, Effenddy. Unsur-unsur Islam dalam Pewayangan. Jakarta: PT Margi Wahyu.
1977.
[1]Sujamto.WAYANG
& BUDAYA JAWA. (Semarang: DAHARA PRIZE). 1992. Hlm 19.
[2]
http://cunseondeok.blogspot.co.id/2015/11/interelasi-nilai-islam-dalam-pewayangan.html
[4] Sri
Suhandjati. Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal.
(Semarang: CV. Karya Abadi Jaya). 2015. Hlm 80.
[8]Azymardi
Azra. Ensiklopedi Islam. (Jakarta:
Ichtiar baru). 1997. Hlm 166.
[9] Abdul
Amin Darori, dkk. Islam dan Kebudayaan. (Yogykarta:
Gama Media). 2000. Hlm 187.
[10] Soeroto Myrtha. Pustaka Budaya dan Arsitektur Jawa,(Yogyakarta
: MYRTLE Publishing). 2011. Hlm 64-65.
[11]Jamil, Abdul, Islam danBudayaJawahlm
196-198
[12]
http://santimelyana.blogspot.co.id/2013/04/interelasi-islam-dan-budaya-jawa-pada.html
Komentar
Posting Komentar