INTERELASI NILAI ISLAM DAN JAWA DALAM RITUAL DAN KESENIAN


Disusun oleh :
Afisha Rima
Nida Basamah A.
Minkhatul Maula
Rizki Ainun Nasikhah
Ulfiatul Lailiyan







BAB 1
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Budaya Jawa merupakan hasil cipta, dan karya manusia Jawa yang tumbuh dan berkembang di pulau Jawa sebagai bagian dari peradaban masyarakat Jawa. Pada mulanya budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya Hindu-Budha yang sebelum Islam datang merupakan agama masyarakat Jawa. Sehingga, tradisi Hindu-Budha mengakar kuat sampai masuknya Islam dalam masyarakat Jawa.Islam masuk dengan warna baru, dengan meniadakan sistem kasta yang menjadi penghalang dalam ajaran Hindu-Budha. Islam hadir ditengah masyarakat Jawa tidak langsung menghapus budaya Jawa sebelumnya, tetapi Islam mengolaborasikan atau memadukan budaya Islam, dan budaya Jawa. Proses perpaduan atau akultutasi budaya Islam dan Jawa kemudian menghasilkan kepercayaan dan ritual ataupun tradisi baru hasil Islamisasi Jawa, dan Jawanisasi Islam   dan bahkan nilai-nilai Islam dan jawa sudah sampai pada berbagai bidang salah satunya bidang kesenian. Dalam masyarakat jawa umumnya ada juga kebiasaan-kebiasaan yang sering dilakukan terutama pada masyarakat islam khususnya dan memiliki arti serta estetika yang bermakna.

B.  Rumusan Masalah
1.    Apa yang Dimaksud dengan Interelasi dan Kepercayaan Orang Jawa?
2.    Apa  Interelasi Nilai Islam dan Jawa Pada Tradisi dan Upacara Adat?
3.    Apa yang  Dimaksud Interelasi nilai Jawa dan Islam dalam Bidang Sastra?
4.    Bagaimana Interelasi Nilai Islam dan Jawa Pada Sastra Pesantren?
5.    Bagaimana Interelasi Islam dan Jawa Dalam Bidang Kesenian?




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Kepercayaan Orang Jawa Pra Islam
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, interelasi berarti hubungan satu sama lain. Jadi yang dimaksud interelasi di sini adalah hubungan antara nilai-nilai ajaran atau kebudayaan Jawa dengan Islam dari aspek kepercayaan. Sebelum Islam datang, masyarakat Jawa telah mempunyai kepercayaan yang bersumber pada ajaran Hindu yang ditandai dengan adanya para dewata, kitab-kitab suci, orang-orang suci, roh jahat, lingkaran penderitaan (samsara), hukum karma dan hidup bahagia abadi (moksa).
Di samping itu juga ada yang bersumber pada ajaran Budha yang ditandai dengan adanya percaya pada Tuhan (Sang Hyang Adi Budha), selain itu juga ada kepercayaan animisme dan dinamisme.
Setelah kedatangan Islam ke Jawa, terjadilah suatu interelasi Islam dengan Jawa yang salah satunya adalah interelasi antara kepercayaan dan ritual Islam dengan nilai-nilai Jawa. Pada dasarnya interelasi ini ditempuh dengan jalan penyerapan secara berangsur-angsur, sebagaimana yang dilihat dan dilafalkan Islam berbahasa Arab menjadi fenomena Jawa.
Dalam masyarakat Jawa memiliki sebuah kepercayaan yang dipegang utuh. Kepercayaan sendiri berasal dari kata “percaya” adalah gerakan hati dalam menerima sesuatu yang logis dan bukan logis tanpa suatu beban atau keraguan sama sekali kepercayaan ini bersifat murni. Kata ini mempunyai kesamaan arti dengan keyakinan dan agama akan tetapi memiliki arti yang sangat luas.[1]
Kejawen adalah sebuah kepercayaan atau mungkin boleh dikatakan agama yang terutama yang dianut di pulau jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di jawa. Agama kejawen sebenarnya adalah nama sebuah kelompok kepercayaan-kepercayaan yang mirip satu sama lain dan bukan sebuah agama yang terorganisir seperti agama islam atau agama kristen.
Ciri khas dari agama kejawen adalah adanya perpaduan antara animisme, agama hindu dan budha. Namun pengaruh agama islam dan agama kristen. Nampak bahwa agama ini adalah sebuah kepercayaan sinkretisme.
Sejak jaman awal islam, banyak sekali tradisi-tradisi yang dibirkan berlanjut tapi spirit (jiwa dan semangatnya) diubah atau disesuaikan dengan nilai-nilai islam, seperti tata cara perkawinan masyarakat Arab pra-islam banyak yang dilestarikan sekaligus diislamkan  bagian intinya. Ini yang oleh sementara ahli antrophologi budaya disebut sebagai “islamisasi tradisi” atau “islamisasi budaya” Dalam masyarakat jawa ada ritual atau tradisi yang dipertahankan misalnya dalam agama islam sendiri terdapat tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur, haul dan sebagainya. Kegiatan tersebut tidak lepas dari kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh sebagian masyarakat jawa khususnya masyarakat yang beragama islam.
2.      Interelasi Nilai Islam dan Jawa Pada Tradisi dan Upacara Adat
Inrelasi nilai Islam dan Jawa ini beragam bentuknya . semua nilai memiliki makna yang saling berkaitan satu sama lain. Contoh Interelasi Nilai Islam dan Jawa :
A.     Upacara Hari Besar Islam
            Bentuk selametan lain yang tidak berkaitan dengan lingakaran hidup adalah upacara hari-hari besar yang dilaksanakan berdasarkan mengikuti kalender Islam, yakni yang bersangkutan dengan bulan-bulan Islam.
            Berikut adalah macam-macam selametan hari-hari besar Islam yang diakui orang Jawa:
a.      Suronan
            Syuro atau Muharram  merupakan bulan pertama dalam tahun Hijriyah, yang mana orang Jawa biasanya menyebutkan dengan istilah selametan tompo tahun. Yaitu selametan yang menandai pergantian tahun.
            Mengenai tata cara upacaranya yang benar menurut islam adalah:
Melakukan puasa 1 hari diakhir bulan besar atau diakhir tahun. Kemudian kira-kira ba’da sholat asar atau magribagar berdoa akhirussanah, selanjutnya pada tanggal satu syuro memberikan sedekah kepada anak-anak yatim sambil dielus-elus kepalanya. Pada saat itulah anak yatim diminta untuk mendoakan. Selain itu juga makan yang enak-enak, berbeda dengan biasanya. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati bulan syuro.
 Pada tanggal 1-10, Nabi menganjurkan agar umatnya melakukan puasa. Selametan biasanya dilakukan di masjid atau di mushalla setelah shalat maghrib dengan membawa bubur suro dan juga pembacaan manaqib dilanjutkan tahlilan. Menurut kiai Irchamni, bulan asyuro memiliki makna penting, sebab:
“Tanggal 10 syuro terdapat peristiwa besar, antara lain: diterima taubatnya Nabi Adam, surutnya banjir besar Nabi Nuh, selamatnya nabi Ibrahim ketika dibakar Namrud, lepasnya Nabi Musa dari kejaran tentara Fir’aun, dan keluarnya Nabi Yunus dari perut ikan di dasar laut. Itulah sebabnya bulan syuro diperingati sebagai hari baik”.[2]
.    b.  Shafaran
Bulan shafar adalah bulan kedua Hijriyah. Syaikh Ad-Dairoh menyatakan, “menurut sebagian ulama ahli ma’rifat, setiap tahun ada 230.000 musibah yang diturunkan ke dunia, dan semua musibah itu diturunkan pada hari rabu terakhir bulan Shafar (rebo wekasan). Maka hari itu merupakan hari yang paling berat dibanding hari-hari yang lain selama satu tahun. Dan Al-Firdaus, Syaikh Al-Buni mengatakan, “Sesungghunya Allah SWT menurunkan musibah ke tempat di antara langit dan bumi pada hari rabu terakhir bulan shafar, kemudian malaikat yang bertugas menerimatersebut menyerahkan kepada malaikat yang bertugas di bumi yang bernama Quthubul Ghouts agar membagi seluruh alam. Maka segala sesuatu yang terjadi, kematian, kesialan, kesusahan dan sebaginya tiada lain berasal dari musibah yang dibagikan oleh Malaikat yang bernama Quthubul Ghouts”.[3]
B.     Slametan
Slametan berasal dari kata slamet (Arab: salamah) yang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden-insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, Clifford Geertz slamet berarti gak ana apa-apa (tidak ada apa-apa), atau lebih tepat “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun).
Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiatan komunal Jawa yang biasanya digambarkan oleh ethnografer sebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hingga upacara tahunan untuk memperingati ruh penjaga. Dengan demikian, slametan merupakan memiliki tujuan akan penegasan dan penguatan kembali tatanan kultur umum. Di samping itu juga untuk menahan kekuatan kekacauan (talak balak).
Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh individu atau kelauarga tampak ketika mereka mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam kandungan), puputan (lepas pusar), dan masih banyak lainnya. Skala yang lebih besar dapat dijumpai praktik-praktik seperti bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton praktik yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji) tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa (dhanyang). Dengan kata lain, bersih desa bertujuan untuk menjalin hubungan damai dengan dunia ruh setempat.
Dapat dipahami bahwa slametan seringkali merupakan pesta komunal sebagaimana disebutkan pada slametan dalam skala besar. Hanya saja, slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai kebersamaannya, tetapi yang menonjol adalah pesta ritual pembagian “buah tangan”, jajan pasar, dalam bentuk makanan. Yang menarik adalah ketika warga desa mendatangi slametan bukanlah kemungkinan untuk makan bersama sebagai wujud kebersamaan, tetapi justru keinginan untuk membawa pulang makanan bertuah (berkat).
Slametan dimaknai sebagai sebuah konsep dan ritual yang selanjutnya dimaknai dalam bingkai yang lebih luas, yakni penciptaan tata, tertib, aman (selamat), dan wilujeng (selamat).[4]
3.      Interelasi nilai Jawa dan Islam dalam Bidang Sastra,
Karya sastra yang berbentuk puisi merupakan karya sastra yang paling tua di Indonesia. Tidak hanya di Nusantara, juga di Jawa karya sastra yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim disebut mantra. Setelah itu muncul parikan dan syair/wangsalan, yang di Jawa dikenal dengan ‘macapat’. Mantra dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia, terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib/supranatural (termasuk Tuhan). Mantra ini dibuat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan Yang Maha Kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonannya kepada Tuhan, maka diucapkan mantra-mantra.[5]
Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi (puisi lama) yang dikenal di Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainnya adalah gurindam, talibun, tersina dan sebagainya yang memiliki struktur yang prinsip-prinsipnya sama dengan struktur pantun dan syair.
Dalam tradisi jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan.[6] Parikan merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya.
 Istilah interelasi secara sederhana disini diartikan sebagai islam dijawakan sedangkan Jawa diislamkan. Keterkaitan antara Islam dengan karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang bersifat pembangunan moral. Islam mewarnai dan menjiwai karya-karya sastra Jawa baru. Sedangkan puisi (tembang/sekar macapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk/nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk/nasehat yang bersumber pada ajaran Islam. Hal ini terjadi karena para pujangga tersebut jelas beragama Islam.[7]
4.      Interelasi Nilai Islam dan Jawa Pada Sastra Pesantren
Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansakerta, yakni sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi,dan tra yang berarti alat atau sarana sehingga sastra berarti alat untuk mengajar.
 Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif yang terkait dengan hal-hal yang tertulis maupun tercetak, termasuk karya sastra lisan. Istilah sastra Jawa secara praktis diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para pujangga Jawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya Jawa.[8]
Dalam hal Pesantren menurut Prof. John berasal dari bahasa Tamil, santri yang berarti guru mengaji. CC.Berg juga berpendapat bahwa istilah santri berasal dari kata shastri (bahasa India) yang berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari shastra yang berarti pula buku-buku suci shastra yang berarti pula buku-buku suci, buku agama, atau buku tentang ilmu pengetahuan. Namun secara konsep pesantren dimaknai sebagai asrama dan tempat murid-murid mengaji, khususnya dengan tujuan meningkatkan kekuatan keagamaan.[9]
Di Jawa, secara tradisional sekolah-sekolah al-Qur’an tidak memiliki sebutan khusus. Oleh orang Jawa, tempat pendidikan al-Qur’an disebut Nggon Ngaji,[10] yang berarti tempat murid belajar membaca al-Qur’an tahap permulaan. Sedangkan kegiatannya disebut dengan Ngaji Qur’an. Dengan demikian, masyarakat muslim di Indonesia secara tradisional pendidikan telah dijalankan pada dua jenjang, yaitu pengajian al-Qur’an sebagai pendidikan dasar dan pondok pesantren sebagai pendidikan lanjutan.
Tujuan pendidikan di pesantren:
1.      Pesantren dilahirkan untuk memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang tengah duhadapkan kepada runtuhnya sendi-sendi moral melalui transformasi nilai yang ditawarkan.
2.      Untuk menyebarluaskan informasi ajaran tentang universalitas islam ke seluruh pelosok nusantara yang berwatak pluralis, baik dalam dimen Sastra pesantren adalah bagian dari sastra Islam yang mewujud dalam kitab-kitab keagamaan yang menjadi pedoman masyarakat pesantren.
Hubungan Islam budaya dengan sastra pesantren
            Dalam tradisi pesantren, kitab-kitab keagamaan itu disebut kitab-kitab Islam klasik atau juga disebut kitab kuning karena kertas pada halaman sebagian kitab-kitab tersebut berwarna kuning. Dilihat dari perspektif wadah (corpus), sastra pesantren, sebagian besar dalam bentuk kitab-kitab berbahasa Arab dengan berbagai macam corak. Dilihat dari perspektif isi (mentes), kitab-kitab itu memuat ilmu-ilmu: gramatika bahasa Arab, puisi Arab, tafsir, hadis, tarikh, dan tasawuf. Semua ilmu ini dipelajari dan didalami oleh kiai bersama santrinya di pesantren dan masyarakat yang hidup di sekitar pesantren. Selanjutnya, kiai, santri, dan masyarakat yang hidup di sekitar pesantren itu disebut masyarakat pesantren. Santri yang dalam perjalanan sosialnya banyak yang menjadi kiai memiliki tradisi menuntut ilmu dari kiai melalui kitab-kitab kuning yang ditulis dalam bahasa Arab. Dari kitab-kitab inilah para santri terbentuk sikapnya yang moderat dalam menghadapi realitas sosial budaya. Sehingga masyarakat pesantren dapat menyumbangkan kecerdasan spritual masyarakat melalui sarana sastra.si kepercayaan, budaya, maupun kondisi sosial masyarakat.[11]
            Dilihat dari sisi produksi, sastra pesantren mewujud melalui pembacaan para kiai, sebagai pengarang, dan santri terhadap kitab-kitab berbahasa Arab yang coraknya bermacam-macam. Dilihat dari sisi resepsi, sastra pesantren mewujud dalam bentuk kitab-kitab transformasi yang ditulis oleh para kiai dan santri sebagai sambutan atas kitab-kitab hipogramnya. Penglihatan terhadap sastra pesantren dari dua sisi ini mengisyaratkan bahwa dunia pesantren merupakan salah satu sumber utama dalam produksi sastra Islam yang kemudian menjadi induk lahirnya sastra pesantren itu sendiri. Jadi, sastra pesantren telah menghidupkan gairah masyarakat dalam mencipta karya-karya sastra yang bercorak Islam yang termuat dalam kitab-kitab berbahasa Arab.[12]
            Dalam kaitan ini, banyak karya sastra pesantren yang berserakan di Nusantara, khususnya di Jawa, baik yang ada di pesantren-pesantren maupun yang tersimpan di perpustakaan-perpustakaan, yang belum dibaca oleh para peneliti sastra. Di antara kitab-kitab yang dicipta di lingkungan pesantren dan diajarkan langsung oleh kiai itu adalah kitab Raudhatul-Irfân fî Ma'rifatil-Qur'ân1yang artinya Taman Ilmu untuk Memahami Al-Qur'an. Kitab ini disusun oleh Kiai Haji Ahmad Sanusi yang juga berkedudukan sebagai pengasuh Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi Jawa Barat. Kitab Raudhatul-Irfân adalah kitab tafsir Al-Quran yang ditulis dengan huruf Arab pegon dan berbahasa Sunda yang terdiri atas matan (ayat-ayat Al-Quran), terjemahan matan, dan syarah. Ayat-ayat Al-Quran adalah firman Allah yang berupa teks suci yang abadi, sedangkan terjemahan ayat-ayatnya adalah hasil kreasi manusia.
Sastra pesantren, sebagai bagian dari sastra Islam, termasuk genre sastra yang menarik karena seiring dengan kedudukan dan fungsi pesantren itu sendiri sebagai subkultur dalam universum kebudayaan Inndonesia. Akan tetapi, pesantren sebagai institusi kultural yang melahirkan karya sastra pesantren sampai saat ini belum mendapat perhatian yang memadai dari para pemerhati, kritikus, dan ahli sastra, padahal tidak sedikit karya sastra pesantren yang menguatkan dan mengembangkan budaya lokal. Seperti telah disebutkan di atas bahwa kitab tafsir Al-Quran Raudhatul-Irfân bahasa Sunda dipandang sebagai karya sastra pesantren berkategori masterpiece yang tingkat resepsinya tinggi di kalangan masyarakat pesantren di Jawa Barat. Kitab tafsir Al-Quran bahasa Sunda ini berfungsi menguatkan budaya lokal Sunda,khususnya masyarakat pedesaan yang memiliki tradisi pengajian Al-Quran di masjid-masjid kampung.[13]
5.      Interelasi Islam dan Jawa Dalam Bidang Kesenian
Apabila dilihat lebih dalam, tiap agama mempunyai hubungan yang erat dengan kesenian. Seni adalah keindahan. Seni dalam Islam adalah ekspresi jiwa kaum muslim yang terungkap melalui bantuan alat baik berupa suara maupun ruang. Dengan kata lain seni dalam Islam terletak pada esensi ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam karya seni tersebut.
Kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari umat Islam antara lain ialah Al-Quran. Al-Quran dibaca dengan perasaan taqwa dengan suara dan lantunan yang indah. Selain itu ketika kita mendengarkan seorang muadzin mengumandangkan adzan untuk memberi peringatan pada masyarakat muslim untuk melaksanakan sholat. Adzan pun dikumandangkan dengan suara nyaring untuk menggetarkan hati yang mendengarnya. Keindahan ucapan melafalkan ayat Al-Quran dan mengumandangkan adzan membawa keindahan isinya. Hal inilah termasuk dalam seni. Telah kita ketahui bahwa dalam Islam tersimpul ajaran tentang keindahan, yang berarti suatu kesenian.[14]
Dalam konsep Islam seni itu sebuah kebenaran yang nyata adanya. Contoh bentuk seni dalam Islam bisa berupa Shalawatan, tarian Arab, Kaligrafi, Qira’ah dan lain-lainnya.
Dalam Jawa sendiri, seni bisa diartikan karya seni yang diciptakan dan berasal dari pulau Jawa yang di lakukan masyarakat Jawa. Kesenian dalam masyarakat Jawa sangat beragam. Karena masyarakat Jawa sendiri sangat menjungjung tinggi nilai suatu kesenian, maka mereka menganggap kesenian adalaah suatu hal yang sangat berharga dan akan diwariskan pada semua keturunan. Bentuk seni dalam Jawa itu bermacam-macam yaitu adanya seni sastra, seni bangunan, seni tari, seni pertunjukan, dan juga seni rupa dan lukis.
Maka dari itu, Interelasi antara agama Islam dengan budaya kesenian Jawa sangatlah erat. Maka dari itu agama Islam dapat melahirkan budaya yang diciptakan oleh masyarakat sebagai penganutnya untuk kepentingan maupun kenikmatan hidup bagi mereka. Agama Islam adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Allah SWT. Budaya Jawa mengandung nilai dan simbol bagi masyarakat Jawa dan di lingkungannya.  Menurut E.B Taylor dalam bukunya Primitive culture (1924) kebudayan merupakan hal yang kompleks salah satunya ialah kesenian.[15]
 Proses interelasi Islam dan Jawa tidak lepas dari proses penyebarannya. Proses penyebaran Islam di Jawa ini dipelopori oleh Walisongo. Para wali disamping mahir dalam ilmu agama juga mahir dalam bidang sastra maupun seni. Para wali inilah yang yang kemudian kesenian dan kebudayaan yang merupakan pencampuran antara kesenian yang sudah ada di daerah Jawa dengan sisipan ajaran Islam.
Menurut Kuntowijoyo makna kesenian Islam dalam sudut pandang kebudayaan (kultural). Kuntowijoyo mengemukakan bahwa kesenian yang merupakan ekspresi dari keislaman itu setidaknya mempunyai tiga karakteristik, yaitu: (1) dapat berfungsi sebagai ibadah (2) dapat menjadi identitas kelompok (3) dapat berfungsi sebagai syiar.
Sudah dikatakan di atas, bahwa kesenian Jawa itu beragam, mulai dengan seni sastra, seni rupa dan ukir, seni pertunjukan dan seni arsitektur. Namun, dalam hal ini yang di bahas hanyalah seni dalam bentuk pertunjukan:
1.    Gamelan
Dalam KBBI gamelan bermakna perangkat alat musik Jawa yang terdiri atas saron, bonang, rebab, gendang, gong, dan sebagainya. Asal usul gamelan sendiri sebenarnya berasal dari dua suku kata "gamel" dan "an". Adapun “Gamel” dalam bahasa jawa berarti memukul atau menabuh, sedangkan “an” dalam bahasa jawa berarti kata benda. Jadi gamelan merupakan suatu aktifitas menabuh yang dilakukan oleh orang jaman dahulu yang kemudian menjadi nama alat musik.
Apabila kita melihat ke masa lampau, jadi sebenarnya gamelan pada mulanya hanya terdiri atas satu buah gong besar saja, kemudian lama-kelamaan dari satu buah gong besar tersebut ditambah dengan gong-gong yang ukurannya lebih kecil dengan berbagai macam bentuk termasuk seperti apa yang bisa kita lihat sekarang ini.Menurut kepercayaan orang jawa, gamelan diciptakan oleh dewa yang menguasai daratan Jawa yaitu Sang Hyang Guru yang mendiami Gunung Mahendra atau saat ini lebih terkenal dengan sebutan Gunung Lawu. Jadi pada jaman dahulu gamelan tersebut dibuat dan digunakan untuk berkomunikasi dan untuk memanggil dewa-dewa lainnya. Akan tetapi agar bisa menyampaikan pesan yang lebih khusus akhirnya.[16]Gamelan sendiri termasuk dalam jenis musik ansamble yang mana dimainkan secara bersama-sama dengan alat musik lain untuk menciptakan alunan suara yang merdu.
Adapun ciri dan peran masing-masing dari perangkat gamelan:
a.       Kendhang, berfungsi untuk mengatur tempo dalam permainan gamelan dan perannya paling utama.
b.      Bonang & Bonang Panerus, Bonang Barung adalah salah satu instrumen pemimpin, perannya lebih penting daripada Bonang Panerus. Bonang Panerus dimainkan 2X lebih cepat dari Bonang Barung
c.       Demung, sebagai balungan / kerangka dari suatu gendhing yang dimainkan. Juga merupakan instrument melodi dasar, Pemainnya harus punya insting kuat. Termasuk dalam keluarga Balungan.
d.      Saron, satu set gamelan ada 4 saron, termasuk dalam keluarga Balungan. Menghasilkan nada 1 oktaf lebih tinggi dari demung. Teknik khusus: tangan kanan menabuh nada selanjutnya, tangan kiri menyentuh nada sebelumnya untuk menghapus sisa dengungan.
e.       Peking, lebih penting daripada engkuk meski engkuk dimainkan 2X lebih cepat daripada Balungan. Termasuk dalam keluarga Balungan.
f.       Kenong dan Kethuk, semacam Gong, tetapi ukurannya lebih kecil daripada gong dan lebih besar daripada bonang. Dimainkan dengan tongkat berlapis.
g.      Slenthem, semacam Demung, tetapi lebih tipis dan mempunyai satu oktaf dibawah Demung. Dimainkan dengan tongkat bundar berbalut kain.
h.      Gambang, terdiri atas 18 bilah kayu yang diletakkan pada sebuah resonator berbentuk perahu. Dimainkan dengan dua alat pemukul. Memiliki tangga nada yang mencakup nada mayor dan minor.
i.        Rebab, termasuk alat musik gesek yang terbuat dari bahan logam. Berfungsi mengiringi sinden dalam bernyanyi.
j.        Siter, umumnya siter berukuran 30cm dengan jumlah senar 11 / 13. Menghasilkan bunyi yang khas. Memiliki senar yang disetel untuk nada selendro dan pelog.
2.    Tembang
Tembang biasanya disebut sebagai lagu. Salah satu tembang yang paling populer di masyarakat adalah tembang-tembang macapat. Salah satu yang masih popular saat ini ialah tembang pocung yang berisi nasihat yang biasanya berbentuk jenaka ataupun teka-teki. Tembang dhandhangula, tembang asmaradhana , dan yang lain sebagainya. Tembang macapat merupakan tembang atau puisi tradisional Jawa yang menceritakan tahap-tahap kehidupan manusia. Filosofinya menggambarkan tentang seorang manusia dari lahir sehingga dewasa.
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Sebelum agama-agama masuk, beribu-ribu tahun lalu, orang jawa mempercayai adanya Tuhan  yang diwujudkan melalui hal-hal yang nyata yang disebut agama kejawen yaitu perpaduan antara animisme, agama Hindhu dan Budha. Namun, pengaruh agama islam dan agama kristen, nampak agama ini adalah sebuah kepercayaan sinkretisme.
Secara garis besar, orang jawa mempunyai tujuan yang sama yaitu mencapai kebahagiaan lahir dan batin melalui tepo sliro, unggah-ungguhnya, menghormati orang lain dan selalu hidup berdampingan demi tercapainya tatanan masyarakat yang harmonis. Adanya  penjelasan tentang hubungan antara budaya Jawa dengan Islam terlihat baik secara tersirat maupun tersurat, yang mana telah begitu menyatu dalam tradisi masyarakat Islam yang mengaku orang Jawa tidak mau meninggalkan praktek Jawanya.
Interelasi atau keterkaitan antara Islam dengan karya-karya sastra Jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperative moral. Artinya, keterkaitan itu menunjukkan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya sastra. Salah satunya karya sastra pesantren. Pesantren merupakan sistem pendidikan diluar sekolah yang berkembang di masyarakat. Oleh sebab itu, dalam banyak hal, lembaga penddikan ini bersifat merakyat.
Adapun nilai seni dalam Islam dan Jawa
  1. Saran
Demikianlah makalah tentang Interelasi Nilai Islam dan Budaya Jawa dalam berbagai aspek yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran kontruktif dari pembaca  sangat diharapkan agar lebih baik.
                                                     
                                             DAFTAR PUSTAKA
Amin Darori. Islam dan Budaya Jawa.Yogyakarta: Graha Media 2000.
 Ashef Maftuh, Arwaniyah. Mubarokatan Thoyyibah. Kudus: PT Grafindo.2012.
 Barirotus Sa’adah. Kesenian Gamelan Sebagai Media Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada Masyarakat Papringan Caturtunggal Depok Sleman Yogyakarta, Skripsi.2013.
Edi, Sedyawati.  Sejarah Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.2009.
Gazalba, Sidi. Islam Integrasi Ilmu dan Kebudayaan. Jakarta: Tintamas. 1967.
Huda, Nur.  Islam Nusantara. Yogyakarta: Gama Media. 2000.
Iskandar, Willem. E-Jurnal Interelasi Agama dan Budaya, Vol. VI. No.2. 2016.
Mahjunir. Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan. Jakarta: Bhratara. 1967.
Pamberton, John. Jawa. Yogyakarta: Mata Bangsa. 2003.
Sufwan,Ridin dkk. Merumuskan kembali Interelasi Islam Jawa. Yogyakarta: Gama Media. 2004.
Syam,Nur  Islam pesisir. Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara. 2005.


























[1] Ridin Sufwan, dkk., Merumuskan kembali Interelasi Islam Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), Hlm. 5
[2] Nur Syam, Islam pesisir. ( Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara. 2005) hlm.180
[3] Ashef Maftuh. Arwaniyah..Mubarokatan Thoyyibah (Kudus: PT Grafindo.2012) hlm. 81
[4] John Pamberton, Jawa, (Yogyakarta: Mata Bangsa. 2003) Hlm 327-328
[5] A. Jamil, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 144.
[6] Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1981),  hlm. 375-376.
[7] http://waromuhammad.blogspot.com/2012/03/interelasi-nilai-jawa-dan-islam-dalam.html.23/10/2013.
[8] Amin Darori, Islam dan Budaya Jawa, (Yogyakarta: Graha Media. 2000) hlm 160
[9] Sedyawati Edi, Sejarah Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers.2009) hlm 56-58
[10] Nur Huda, Islam Nusantara, (Yogyakarta: Gama Media. 2000) hlm 90
[11] Mahjunir, Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan, (Jakarta: Bhratara. 1967) hlm 74
[12] Ibid. hlm 75.
[13] Ibid. hlm 77-78.
[14] Sidi Gazalba, Islam Integrasi Ilmu dan Kebudayaan, (Jakarta: Tintamas, 1967), hlm 168
[15] Lihat Willem Iskandar, ( E-Jurnal Interelasi Agama dan Budaya, Vol. VI, No.2, 2016) hlm 102
[16] Barirotus Sa’adah, 2013, Kesenian Gamelan Sebagai Media Transformasi Nilai-Nilai Pendidikan Islam Pada Masyarakat Papringan Caturtunggal Depok Sleman Yogyakarta, Skripsi, hal 9

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEBAB-SEBAB PUDARNYA BUDAYA JAWA dan UPAYA PELESTARIANNYA

PERAN PESANTREN DALAM REVITALISASI BUDAYA JAWA DI ERA GLOBAL