PERAN PESANTREN DALAM REVITALISASI BUDAYA JAWA DI ERA GLOBAL
Disusun Oleh :
Qurwatul Aini (1604046069)
Madu Amara G. P. (1604046070)
Nisa’atul Karimah (1604046071)
Dika Duwiyanto (1604046072)
Fathiya Widhie S. (1604046073)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kisah penyebaran agama Islam di tanah Jawa secara
besar-besaran ini mengandung rasa kekaguman semua pihak. Persebaran Islam di
tanah Jawa tidak lepas dari campur tangan walisongo sehingga pada masa sekarang
ini Islam menguasai mayoritas penduduk. Islam seiring dengan perkembangan modernitas bahkan dengan perkembangan ilmu dan
teknologi. Tidak bisa dipungkiri, cepat atau lambat budaya modern tetap saja akan masuk ke dalam ruang lingkup kehidupan, bahkan juga berpengaruh terhadap pemikiran keislaman. Modernitas sebagai
penawar alternatif, harus dipahami sebagai kelanjutan wajar dan logis bagi
perkembangan sejarah kehidupan manusia. Islam dan tantangan modernitas adalah
tidak lepas dari upaya melihat kembali akar sejarah awal Islam yang menyertai
kehidupan kaum Muslim sedunia, termasuk Indonesia dan khususnya di wilayah
Jawa.
Kebudayaan merupakan
warisan yang diturunkan tanpa surat wasiat dari nenek moyang, jadi inilah
sebabnya mengapa kita harus menjaga dan juga melestarikan budaya kita. Budaya
sangat berpengaruh dalam terbentuknya moral seseorang. Tetapi pada era
globalisasi ini, melestarikan budaya lokal sangatlah sulit. Inilah yang
menyebabkan kita bingung apakah harus melestarikan budaya kita yang dianggap
ketinggalan zaman atau meninggalkan budaya kita dan mengikuti zaman yang modern
ini. Namun, tentu itu semua tak lantas kita terbebas dari kewajiban kita dalam
menjaga kelonggaran dalam budaya Jawa.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
sejarah dan tujuan berdirinya pondok pesantren di pulau Jawa?
2. Bagaimana
interelasi santri dengan budaya Jawa?
3. Bagaimana
pesantren pada masa walisongo (Sunan Ampel & Sunan Giri)?
4. Bagaimana
peran santri dalam revitalisasi budaya Jawa Islam di era global?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
dan tujuan berdirinya pondok pesantren
Secara
etimologi pondok pesantren adalah gabungan dari pondok dan pesantren. Pondok
berasal dari bahasa arab funduk yang berarti hotel, yang dalam bahasa pesantren
Indonesia lebih disamakan dengan lingkungan padepokan yang di petak petak yang
dalam bentuk kamar sebagai asrama bagi para santri, sedangkan pesantren
merupakan dari kata pe-santri-an yang berarti tempat santri. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa pondok pesantren adalah tempat atau asrama bagi para santri
yang mempelajari agama dari seorang kiyai atau syaikh. Menurut Ridlwan Nasir
dalam bukunya mengatakan bahwa pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang
memberikan pendidikan dan pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu
agama Islam.[1]
Sejarah
pondok pesantren di Jawa tidak lepas dari para wali sembilan atau lebih dikenal
dengan sebutan walisongo yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa pada khususnya.
Pada masa walisongo istilah pondok pesantren mulai dikenal akrab di Indonesia,
ketika itu Sunan Ampel Surabaya sebagai pusat pendidikan di Jawa. Padepokan
Sunan Ampel dianggap sebagai cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren yang
terbesar di Indonesia.
Tujuan
Pendidikan Pondok Pesantren
Profesor
Mastuhu menjelaskan bahwa tujuan utama pendidikan pesantren adalah untuk
mencapai hikmah atau wisdom (kebijaksanaan) berdasarkan pada ajaran Islam yang
dimaksud untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan serta realitas
dari peran-peran dan tanggungjawab sosial. Secara spesifik, beberapa pondok
pesantren merumuskan beragam tujuan pendidikannya kedalam tiga kelompok yaitu
pembentukan akhlak/ kepribadian, penguatan kompetensi, dan penyebaran ilmu.
Pondok
pesantren sebagai lembaga pendidikan mempunyai karakteristik yang sangat
kompleks. Ciri-ciri secara umum ditandai dengan adanya :
a. Kyai
Sebagai figur yang
biasanya juga sebagai pemilik.
b. Santri
Yang belajar dari kyai.
c. Asrama
Sebagai tempat tinggal
parasantri dimana masjid sebagai pusatnya.
d. Pendidikan
dan pengajaran agama melalui sistem pengajian (weton, serogan, dan bandongan)
yang sekarang sebagian sudah berkembang dan sistem klasikal atau madrasah.
Adapun
ciri khusus yaitu :
1) Pondok
pesantren salaf dan klasik.
2) Pondok
pesantren semi berkembang.
3) Pondok
pesantren berkembang.
4) Pondok
pesantren kalaf atau modern.
5) Pondok
pesantren ideal.
B.
Interelasi
santri dengan budaya Jawa
Pesantren
adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan di Jawa, tempat anak-anak muda bisa
belajar dan memperoleh pengetahuan dan keagamaan yang tingkatnya lebih tinggi.
Alasan pokok munculnya pesantren adalah untuk mentranssisikan Islam tradisional,
karena disitulah anak muda akan mengaji lebih dalam kitab klasik bahasa arab
yang ditulis berabad-abad yang lalu. Di Jawa kitab-kitab itu dikenal sebagai
kitab kuning. Ada ahli sejarah yang menganggap bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan keagamaan yang merupakan lanjutan dari lembaga pendidikan agama
pra-Islam, yang disebut Mandala. Mandala telah ada sejak sebelum majapahit dan
berfungsi sebagai pusat pendidikan semacam sekolah dan keagamaan.
Tokoh
sejarah menyebut bahwa pesantren adalah kelanjutan dari lembaga pendidikan
pra-Islam. Pendapat ini didasarkan atas adanya persamaan antara Mandala yaitu :
1. Sama-sama
memiliki lokasi jauh dari keramaian di plosok yang kosong.
2. Lembaga
pendidikan keagamaan Hindu Mandala dan lembaga pendidikan keagamaan Islam
pesantren sama-sama memiliki guru murid.
3. Menjalin
komunikasi antar dharma yang juga dilakukan antar pesantren dengan perjalanan
rohani lelana.
4. Metode
pengajaran dengan sistem melingkar (halakah)
Memang ada persamaan
antara mandala dengan pesantren, tetapi belum berarti bahwa ada hubungan dengan
keduanya yang terjadi antar paraler melalui status daerah yang di tempati.
Pesantren tidak dapat
disimpulkan mengambil alih sistem mandala. Ada beberapa pesantren pada abad
ke-18 (Tegalsari di Panarag, Banjarmasin dan swulan di Madiun) dan abad ke-19
(Maja pajang dekat Surakarta dan melangi dekat Yogyakarta) yang berdiri atas
tanah pemberian raja, namun ini bukan berarti penerusan lembaga pendidikan
mandala ke pesantren. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam di Jawa masih berjaya
di daerah pesisir, seperti Gresik, Kudus, Jepara dan Demak, kemajuan pendidikan
Islam memperoleh perhatian penguasa muslim dengan kemajuan perdagangannya.[2]
C.
Pesantren
pada masa walisongo (Sunan Ampel dan Sunan Giri)
Sunan
Ampel
Sunan
Ampel lahir pada 1401 M. Nama kecilnya adalah Raden Rahmat. Beliau adalah putera dari Syekh Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik) bapak para wali tanah Jawa dari ibu seorang puteri Raja
Campa (Kamboja). Raden Rahmat melanjutkan perjuangan bapaknya dalam menegakan Islam
di Tanah Jawa. Raden
Rahmat seusia muda sebelum 20 tahun tinggal dengan Ibunya di Campa (Kamboja).
Kedatangan Raden Rahmat ke Jawa, sebelumnya singgah dulu di Palembang selama 2
bulan saat Raden Rahmat berusia 20 tahun dan berhasil mengislamkan Arya Damar
Raja di Palembang. Kemudian melanjutkan pelayaran ke Majapahit dengan singgah
di Gresik sekitar tahun 1421/1422 M (jadi setelah Bapaknya Maulana Malik
Ibrahim wafat) mengunjungi Syekh Jumadil Kubra.
Hikayat
Hasanudin memperkirakannya pada sebelum 1446 M tahun kejatuhan Campa ke tangan
Vietnam, Rahmatullah menyanggupi permintaan raja untuk mendidik moral para
bangsawan dan kawula Majapahit. Sebagai hadiah, ia diberi tanah Ampel Denta,
Surabaya. Sejumlah tiga ratus keluarga diserahkan untuk dididik dan mendirikan
pemukiman di Ampel. Meski raja menolak masuk Islam, Rahmatullah diberi
kebebasan mengajarkan Islam pada warga Majapahit, asal tanpa paksaan.
Pada
hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan Raden Rahmat ke Ampel. Dari
Trowulan, melewati Desa Krian, Wonokromo, berlanjut ke Desa Kembang Kuning. Di
sepanjang perjalanan, Raden Rahmat terus melakukan dakwah.[3] Ia
membagi-bagikan kipas yang terbuat dari akar tumbuhan kepada penduduk. Mereka
cukup mengimbali kipas itu dengan mengucapkan syahadat. Setibanya di Ampel,
Raden Rahmat membangun langgar sederhana yang kemudian menjadi besar, megah,
dan bertahan sampai sekarang dan diberi nama Masjid Rahmat.
Raden
Rahmat memang dikenal memiliki kepekaan adaptasi. Caranya menanamkan akidah
dari syariat sangat memperhatikan kondisi masyarakat. Kata “Shalat” diganti dengan “Sembahyang” (asalnya: sembah dan hyang). Tempat ibadah tidak dinamai mushala,
tapi “langgar”, mirip kata sanggar. Penuntut ilmu disebut santri, berasal dari
shastri (orang yang tahu buku suci agama Hindu). Siapa pun, bangsawan atau
rakyat jelata, bisa nyantri pada Raden Rahmat. Meski menganut mazhab Hanafi,
Raden Rahmat sangat toleran pada penganut mahzab lain.
Peran walisongo dalam Pendidikan
generasi muda Islam melalui Pesantren.
Salah
satu penyebaran Islam yang efektif untuk membina kader umat Islam, adalah
melalui pendidikan pesantren. Pesantren pada umumnya sering juga disebut dengan
pendidikan Islam tradisional di mana seluruh santrinya tinggal bersama dan
belajar di bawah bimbingan seorang kyai.[4]
Salah satu pesantren yang didirikan oleh para Wali adalah pesantren di Ampel
Denta yang dipimpin oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel). Santri-santri yang belajar
di pesantren ini tidak terbatas dari Jawa, tetapi ada pula mubaligh dari negeri
lain yang singgah di Ampel Denta. Diantara santrinya ada pula yang berasal dari
keluarga pedagang maupun bangsawan. Setelah selesai pendidikan di pesantren,
sebagian santri pulang ke kampung halamannya dan mendirikan pula pesantren,
sehingga muncul komunitas santri diberbagai tempat.
Pada
pertengahan abad ke-15, pesantren Ampel Denta menjadi sentra pendidikan yang
sangat berpengaruh. Para santri, di antara Sunan Giri dan Raden Patah,
disebarkan untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.[5]
Pada umumnya ulama atau kyai mendidik kader yang akan menggantikannya, dari
lingkungan keluarganya maupun murid yang dipandang mampu melanjutkan
kepemimpinan di pesantrennya. Dengan demikian, tersebarlah Islam di berbagai
tempat di Jawa, melalui lembaga pesantren secara berkesinambungan. Pesantren
tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan agama, tetapi juga lembaga
sosial yang bermanfaat bagi masyarakat yang ingin belajar agama dan tinggal
dipesantren. Masyarakat dari berbagai lapisan juga banyak yang datang ke
pesantren untuk berkonsultasi dengan kyai guna memecahkan permasalahan
kehidupan yang mereka hadapi.
Sebagai
lembaga yang berfungsi untuk penyiaran agama, maka pesantren juga
menyelenggarakan pengajian maupun diskusi keagamaan bagi masyarakat luas.
Keberadaan pesantren yang multifungsi menekankan pentingnya peran pesantren
dalam penyebaran ajaran agama maupun pembinaan mental spiritual masyarakat.
Bahkan pesantren di masa walisongo, telah memberikan bekal ketrampilan bagi
santri agar bisa menata kehidupan di masyarakat, seperti yang dilakukan Sunan
Ampel di pesantren Ampel Denta. Merujuk tulisan Agus Sunyoto, Sunan Ampel juga
mempelopori pembangunan sumber air, seperti untuk irigasi lahan pertanian
maupun berbagai keperluan hidup sehari-hari. Hal ini penting karena air
termasuk kebutuhan vital yang selalu dibutuhkan manusia.
Sunan
Ampel inilah yang menjadi penerus perjuangan perintis dakwah Islam, Maulana
Malik Ibrahim. Dalam syiarnya Sunan Ampel selalu menggunakan idiom-idiom budaya
lokal. Puji-pujian yang merupakan ciri khas sastra pesantren berkembang di
Ampel Denta. Masyarakat Jawa Timur sangat menghormati Sunan Ampel, bahkan
ketika ada konflik antarwarga di Madura, Haji M. Noer, mantan Gubernur Jawa
Timur dapat mendamaikan pihak-pihak yang bertikai itu di depan makam Sunan
Ampel. Ajarannya yang terkenal adalah falsafah “Moh Lima”. Artinya: tidak melakukan lima hal tercela. Yakni moh
main(tidak mau judi), moh ngombe(tidak mau mabuk), moh maling(tidak mau
mencuri), moh madat(tidak mau menghisap candu), dan moh madon(tidak mau
berzina).
Langkah
yang ditempuh Sunan Ampel adalah
dengan membagi wilayah inti Majapahit sesuai hirarki pembagian wilayah negara
bagian saat itu kedalam beberapa wilayah yang masing-masing wilayah di
koordinir oleh para kader Ampel Denta dan sahabat Sunan Ampel, diantaranya ;
1. Raden Ali Murtadho saudara tua Sunan Ampel,
diberi gelar Raden Santri ditetapkan menjalankan tugas untuk memperkuat basis
pertahanan Islam di daerah Gresik.
2. Raden Burereh (Abu Hurairah) ditempatkan di
Majagung dengan gelar Pangeran Majagung.
3. Maulana Ishak ditempatkan di Blambangan dengan
gelar Syekh Maulana Ishak.
4. Maulana Abdullah dikirim ke daerah Pajang
dengan gelar Syekh Suta Maharaja.
5. Usman Haji ditentukan memasuki kerajaraan
Matahun dan bertempat di Ngudung dengan gelar Pangeran Ngudung.
6. Kafilah Husen ditempatkan di Madura dan
bergelar Kafilah Husen.
7. Kiyai Bah Tong (Kakek Raden Fatah) ditempatkan
di wilayah Lasem dengan gelar Syekh Bentong.
8. Raden Rahmat atau Sunan Ampel sendiri
mengembangkan dakwahnya di wilayah penting ibukota kerajaan di Trowulan, serta
pelabuhan-pelabuhan penting Majapahit yaitu Surabaya, Canggu dan Jedong.
Program selanjutnya adalah pengiriman
kader-kader dakwah ke berbagai negara bawahan Majapahit untuk gelombang ke dua
dengan wilayah target dakwah sudah lebih ke arah pedalaman Jawa. Kader-kader
Ampel Denta Angkatan kedua yang mayoritas dari kalangan muda, kader dakwah tersebut diantaranya :
1. Raden Hamzah (Putra Sunan Ampel yang menurut
cerita tradisi Syekh Kambilah) ditempatkan di Tumapel dengan gelar Pangeran
Tumapel.
2. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) di
tempatkan di Daha dengan gelar Pangeran Anyakrawati.
3. Raden Mahmud (dalam cerita Babad disebut Syekh
Mahmud) ditempatkan di sepanjang Kahuripan dengan gelar Pangeran Kahuripan.
4. Syekh Maulana Ishak ditempatkan di Pasuruan
dan mengawini Rarasatari, putri Bupati Pasuruan yang tak lama kemudian pindah
ke Pandan Arang.
5. Raden Husin (Anak Arya Damar) ditempatkan di
Ibukota Majapahit.
6. Usman Haji ditempatkan di Ngudung-Matahun
dengan gelar Pangeran Ngudung.
7. Syekh Suta Maharaja tetap ditempatkan di
Pajang.
8. Raden Hasan (Raden Fatah) ditempatkan di
Glagah Wangi Bintara, yang termasuk wilayah Lasem, untuk menggantikan kakeknya
Syekh Bentong dan mendapat gelar Pangeran Bintara. Raden Hasan juga melakukan
koordinasi dan memperkuat dakwah Islam di kawasan Surabaya, Canggu dan Jedong.
Sunan
Giri
Sunan
Giri adalah Raja sekaligus guru suci (pandhita ratu) yang memiliki peran penting
dalam pengembangan dakwah Islam di Nusantara. Sejarah dakwah di Nusantara
mencatat jejak- jejak dakwah Sunan Giri dan keturunannya tidak saja sampai
Banjar di Kalimantan Selatan, Kutai di Kalimantan Timur, dan Gowa di Sulawesi
Selatan, tetapi juga mencapai Nusa Tenggara dan Kepulauan Maluku.[6]
Sunan
Giri salah seorang Wali Sanga, memahami teknik pembuatan gamelan. Selain
membuat gamelan, ia juga menciptakan gending untuk alat penyebaran agama Islam.[7] Sunan
Giri dilahirkan sekitar tahun 1450 dengan nama Jaka Samudra. Nama ini diberikan
karena ketika masih bayi, ia ditemukan di dalam peti yang sedang
terombang-ambing di laut. Selain itu, ia juga diberi nama Raden Paku.
Sejatinya, Sunan Giri adalah putra dari Maulana Ishaq, adik Syekh Ibrahim
as-Samarkandi. Jadi, Sunan Giri merupakan saudara sepupu Sunan Ampel. Raden
Paku atau Sunan Giri juga pernah memangku jabatan sebagai Raja sementara di
Demak, sebelum diserahkan kepada Raden Patah.
Konon,
ketika diutus oleh Sultan Muhammad I untuk berdakwah di Nusantara, Maulana
Ishaq memilih bertempat tinggal di Pasai, timbul niatnya untuk menyebarkan
agama Islam ke Jawa sebagai amanat Sultan. Maulana Ishaq memilih wilayah paling
timur Jawa, yakni daerah Blambangan (Banyuwangi). Di tempat ini, Maulana Ishaq
cukup kesulitan mengislamkan penduduk, karena mereka telah kokoh menganut agama
Hindu dan Budha yang disertai dengan ilmu-ilmu hitam.
Hingga
suatu saat, Maulana Ishaq mendengar ada sayembara yang berbunyi, ’’Barang siapa
yang dapat menyembuhkan putri Raja Blambangan yang sedang sakit parah, ia akan
dinikahkan dengannya dan diberi bagian setengah Kerajaan Blambangan.’’Mendengar
sayembara tersebut, Maulana Ishaq pergi dari Blambangan dan meninggalkan
istrinya yang sedang hamil tua. Maulana Ishaq memilih pergi ke Tumasik (
Singapura ), dan akhirnya pulang ke Pasai. Tidak berapa lama , wilayah
Blambangan ditimpa bencana. Banyak
penduduk yang menderita penyakit aneh.
Pagi hari demam, sore harinya
meninggal. Sore demam, pagi pun meninggal. Demikian seterusnya. Raja pun menduga, hal itu semua disebabkan
oleh calon bayi yang sedang di kandung putrinya. Maka, ia segera memerintahkan
untuk membunuh bayi tersebut ketika lahir.
Mendengar
rencana tersebut, putri raja yang sedang hamil tua segera pergi dari istana dan
tinggal di perkampungan pantai. Karena takut bayinya dibunuh begitu melahirkan
ia langsung membungkus orok bayi itu dan memasukkannya ke dalam peti terbuka.
Bayi mungil itu pun dihanyutkan ke pantai dan terbawa angin samudera,
terombang-ambing dalam sebuah peti kayu. Akhirnya, bayi tersebut diambil oleh
seorang bangsawan kaya dari Gresik. Anak ini diberi nama Jaka Samudera atau
Raden Paku yang kelak lebih terkenal denagan nama Sunan Giri atau Sayyid ‘Ainul
Yakin.
Sunan
Giri tinggal bersama orang tua angkatnya di Gresik dan menimba ilmu kepada
Sunan Ampel di Surabaya. Ia menjadi
santri yang pandai dan sangat menonjol. Dan yang paling membuat Sunan Ampel
terkesan adalah ketekunannya dalam beribadah hingga mampu menyelami dunia batin
hingga pada taraf keyakinan yang tinggi.
Maka, Sunan Ampel pun memberinya nama ‘Ainul Yakin, yang bermakna keyakinan yang sudah sampai
pada taraf kasyaf atau menyaksikan dengan mata batin.
Atas
petunjuk Allah SWT, Sunan Ampel akhirnya mengetahui jati diri Raden Paku yang
sesungguhnya. Bahwasanya ia tiada lain adalah sepupunya sendiri. Lalu, Sunan Ampel menyuruh Raden Paku pergi ke
Pasai untuk berguru sekaligus bertemu dengan Maulana Ishaq. Kemudian, Raden
Paku dengan patuh memenuhi permintaan Sunan Ampel untuk pergi ke Pasai.
Sekembalinya dari Pasai, Raden Paku
mendirikan sebuah pesantren disebuah tempat yang diberinya nama Giri Kedhaton,
di Gresik. Sejak saat itu, ia mendapatkan sebutan baru, yakni Sunan Giri. Dalam
pengajaran makrifat, Sunan Giri diberi tugas untuk mengajarkan tentang
keinfdahan Dzat Tuhan, sebuah pengalaman tingkat tinggi bagi seorang sufi.[8]
Sejarah dari Kisah Perjuangan
Sunan Giri
Setelah
tinggal di Pasai selama tiga tahun, Raden Paku dan Sunan Bonang dipersilahkan
kembali ke tanah Jawa. Ayahnya memberikan sebuah bungkusan kain kecil yang
berisi tanah. Ayah Raden Paku berpesan kepada anaknya untuk membangun sebuah
pesantren di Gresik dengan mencari tanah yang sama persis dengan tanah yang ada
di bungkusan itu.
Akhirnya
Mereka berdua kembali ke tanah Jawa dan melaporkan semua pembelajarannya kepada
Sunan Ampel. Lalu Sunan Ampel memerintahkan Sunan Bonang untuk berdakwah di
Tuban, sedangkan Raden Paku diperintahkan untuk pulang ke Gresik.
Setelah
tiba di Gresik, Raden Paku mendirikan sebuah pesantren. Raden Paku memulai
perjalanannya mencari tempat yang cocok untuk membangun pesantren sesuai pesan
ayahnya. Setelah berjalan jauh, Raden Paku sampai di sebuah tempat yang sejuk dan
membuat hatinya damai. Dia mencocokkan tanah yang dibawa dengan tanah ditempat
itu. Ternyata hasilnya sama persis. Kemudian Raden Paku mendirikan sebuah
pesantren di tempat tersebut. Desa tersebut bernama desa Sidomukti. Karena
pesantren terletak di dataran tinggi, maka pesantren tersebut diberi nama
Pesantren Giri. Karena Giri bermakna sebagai gunung (dataran tinggi).
Atas
berkat dukungan istri-istri Raden Paku dan ibunya, pesantren Giri bisa terkenal
sampai ke seluruh nusantara hanya dalam waktu 3 tahun. Raden Paku memiliki 2
orang istri yaitu Dewi Murtasiha (Putri dari Sunan Ampel) dan Dewi Wardah
(Putri Ki Ageng Bungkul). Atas terkenalnya pesantren Giri, banyak murid-murid
baru masuk ke pesantren Giri. Hal ini membuat semakin mudah Sunan Giri untuk berdakwah.
Sunan
Giri sangat berpengaruh besar bagi kerajaan Islam di Jawa maupun di luar Jawa.
Sunan Giri juga mendirikan sebuah kerajaan yang diberi nama Giri Kedaton. Giri
Kedaton atau Kerajaan Giri bertahan selama 200 tahun. Setelah Sunan Giri
meninggal, beliau pernah digantikan oleh Pangeran Singosari, yang berjuang keras mempertahankan Giri Kedaton
dari serangan Sunan Amangkurat II dengan bantuan dari VOC dan Kapten Jonker.
Akhirnya perjuangan Pangeran Singosari membuahkan hasil yang tidak terlalu buruk.
Sesudah pangeran Singosari wafat pada tahun 1679 Masehi, lenyap sudah kekuasaan
Giri Kedaton. Walaupun lenyap, Sunan Giri tetap dikenang sebagai Ulama Besar
Wali Songo sepanjang masa.
Cara Berdakwah dan Kebudayaan Sunan
Giri
Sunan
Giri berdakwah melalui cara ceramah-ceramah di masyarakat dan di pesantren
Giri. Selain ceramah, beliau juga menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam
melalui permainan tradisional anak-anak, seperti Jelungan dan Cublak Suweng.
Dalam
hubungannya dengan dakwah Islam, maka ada suatu peristiwa yang unik dan
berdampak luar biasa, yakni ketika puncak senjata pasukan Surabaya dan Mataram
hampir bertemu. Sunan Giri, yang sangat dihormati oleh kedua pihak yang
bersengketa, menyampaikan wasiat
perdamaian, lewat peristiwa pemilihan isi atau wadah antara Pangeran Surabaya
yang mewakili Surabaya dan Panembahan Senopati pimpinan Mataram. Peristiwa
tersebut dikisahkan dalam Serat Centhini.[9]
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal
sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya
sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus
berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang
menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya
ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Agama Islam yang berada di Sunan Giri
merupakan agama mayoritas yang terdiri dari golongan Nahdlatul Ulama (NU) dan
golongan Muhammadiyah namun golongan Muhammadiyah ini hanya sebagai golongan
minoritas. “berdoa di makam Sunan Giri doanya cepat terkabul, karena para wali
itu memiliki kedekatan dengan Allah bagaikan terkena sengatan
listrik yang langsung nyetrum” kata juru kunci di Makam Sunan Giri. Dulunya
orang disana percaya pada roh-roh seperti menyembah pada pohon dan masih
berkepercayaan pada paham animisme dan dinamisme. Lambat laun Raden Paku
(SunanGiri) mulai menyebarkan ajaran agama Islam dan berangsur-angsur mulai
menyembah pada Allah SWT. Sampai saat ini mayoritas penduduk di daerah Makam
Sunan Giri beragama Islam dan dibangun pondok-pondok pesantren di sekitar makam
Sunan Giri tersebut.
Jasa yang
terbesar tentu saja perjuangannya dalam menyebarkan agama Islam di tanah jawa
bahkan ke nusantara.Beliau pernah menjadi hakim dalam perkara pengadilan Syekh
Siti Jenar, Beliau menjelaskan bahwa Syekh Siti Jenar telah lama tidak
kelihatan bersembahyang jama’ah ke masjid,[10] dan ia juga
meremehkan syariat Islam yang disebarkan para wali lainnya. Keteguhannya dalam
menyiarkan agama Islam secara murni dan konsekuen membawa dampak positif bagi
generasi Islam berikutnya. Islam yang disiarkannya adalah Islam sesuai ajaran
Nabi tanpa dicampuri dengan adat istiadat lama.
D.
Peran santri dalam Revitalisasi Budaya Jawa Islam
di Era Global
Revitalisasi
budaya merupakan revitalisasi yang terkait dengan pemikiran dan perasaan
manusia. Hal ini dikarenakan budaya merupakan hasil kerja pikiran dan perasaan
manusia yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan kehidupan manusia
mengalami perubahan dari masa ke masa. Oleh karena itu, bidang kebudayaan
seperti ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, politik, dan kesenian yang
dihasilkan oleh pemikiran pada masa lalu sehingga ada yang sudah tidak sesuai
dengan kebutuhan pada masa sekarang.
Dengan
fakta tersebut, maka revitalisasi
kearifan lokal yang terkait erat dengan budaya Jawa menjadi penting
untuk dilakukan di era global ini. Globalisasi merupakan proses yang mengarah
pada kemajuan yang cepat dalam teknologi komunikasi, transformasi dan informasi yang menyebabkan bagian dunia
yang semula jauh dapat dijangkau dengan mudah. Globalisasi membawa perubahan
dalam cara berpikir, bersikap, maupun gaya hidup kebudayaan lain, sehingga
beresiko mengikis budaya Jawa.[11]
Era
global yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi, telah menimbulkan
perubahan diberbagai bidang, termasuk dalam tatanan sosial dan gaya hidup.
Salah satu perubahan itu adalah terjadinya erosi dalam tatanan tata krama dan
budaya Jawa. Struktur masyarakat dan gaya hidup yang semula dilandasi dengan
gaya hidup ketimuran yang halus dan santun, berubah menjadi gaya hidup global
yang cenderung kepada kebebasan dan bergaya kebarat-baratan.
Terdapat
tiga kelompok di masyarakat Jawa dalam menghadapi dampak dari globalisasi
terhadap budaya Jawa. Kelompok pertama yang menentang masuknya gaya hidup
global yang individualistik dan materialistik. Hal ini tentu berlawanan dengan
adat Jawa yang santun, dan penuh dengan nilai kekerabatan dan gotong royong.
Selanjutnya kelompok kedua adalah mereka yang mengikuti gaya hidup global, dan
memandang budaya Jawa adalah feodal karena membuat pembedaan atau strata dalam
status sosial, baik dalam berbicara maupun bersikap. Menurut mereka, di era
yang sudah modern ini, tidak perlu lagi tradisi yang menimbulkan pencitraan,
adanya status kelompok yang dipandang lebih tinggi dari yang lain. Kelompok ini
sudah meninggalkan tatakrama maupun tradisi Jawa seperti ritual dalam
kehidupannya. Kelompok ketiga ialah kelompok yang memadukan antara unsur budaya
jawa dengan ajaran agama.
Pembagian
kelompok tersebut di atas, dalam realitasnya tidak bisa ditarik garis secara
tegas, karena masalah budaya bersifat kompromis dan bisa berubah sesuai dengan
perkembangan masyarakat.[12]
Budaya
Jawa Islam di Era Global
Sebelum
Islam masuk ke Jawa pun, Jawa adalah salah satu suku yang dimana terdapat
banyak tradisi, adat budaya, dan kepercayaan. Islam datang dengan membawa
budaya baru sehingga disitulah terjadi akulturasi budaya.
Proses
penyebaran agama Islam khususnya di Jawa, dilakukan oleh para tokoh yang
dikenal dengan sebutan Walisongo. Walisongo adalah tokoh penyebar Islam di Jawa
yang dimana mereka dalam proses penyebaran agama Islam menggunakan metode di
antaranya adalah proses akulturasi budaya. Dalam penyebaran Islam, Walisongo
tetap menerapkan budaya-budaya yang berlaku di masyarakat Jawa kala itu dan
disetiap kebudayaan-kebudayaan tersebut, di masukkan nilai-nilai dari ajaran
agama Islam. Di antara metode dakwah para wali yang terkenal di Jawa, salah
satunya adalah melalui tradisi wayang
kulit yang digunakan oleh Sunan Kalijaga. Wayang kulit yang dulunya sangat
kental sekali dengan nuansa Hindu-Budha, oleh Sunan Kalijaga diubah seni yang
penuh dengan nuansa Islami.
Selain
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang juga menyebarkan ajaran Islam melalui seni gamelan
yang disebut dengan Bonang. Bonang tersebut merupakan sejenis kuningan yang
ditonjolkan pada bagian tengahnya, jika tonjolan tersebut dipukul dengan kayu
lunak maka akan timbul suara merdu yang terdengar di telinga penduduk setempat.
Saat itu Sunan Bonang membunyikan alat kesenian tersebut dan diiringi dengan
tembang-tembang yang berisikan ajaran Islam. Penduduk setempat yang
mendengarkan tembang tersebut penasaran dengan suara ini, setelah itu penduduk
setempat masuk kedalam sebuah masjid yang dimana didalamnya ada Sunan Bonang
yang sedang membunyikan alat kesenian Bonang tersebut. Dengan cara ini
sedikit-sedikit merebut rasa simpati penduduk, dan saat itulah Sunan Bonang
mengajarkan dan menyebarkan Islam kepada penduduk setempat.
Wayang
dan Gamelan adalah salah satu budaya yang sangat berpengaruh besar terhadap
tersebarnya ajaran agama Islam di Jawa, dan tentunya memiliki nilai seni dan
kesakralan yang sangat tinggi.
Di
era globalisasi yang dimana kebudayaanpun semakin berkembang secara pesat, hal
ini juga berdampak kepada kebudayaan lokal (terkhusus kebudayaan Jawa). Banyak
dari budaya Barat yang masuk ke dalam negeri dan hal tersebut akhirnya
berpengaruh terhadap kebudayaan lokal. Jawa yang sangat kaya akan budayanya,
salah satunya dalam bidang kesenian, semakin lama seiring dengan berkembangnya
zaman atau arus globalisasi, para generasi muda Jawa semakin sedikit yang sadar
akan upaya untuk tetap melestarikan budaya dan nilai-nilai sakral yang ada di
dalamnya.
Wayang
yang pada masanya dulu digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai senjata yang ampuh
dalam upaya mensyiarkan agama Islam, pada era global ini sedikit sekali dari
kalangan generasi muda yang mempelajarinya. Walaupun di berbagai tempat masih
tetap ada sanggar-sanggar sebagai sarana untuk mempelajari dan melestarikan
budaya kesenian Jawa, namun tak sedikit pula dari generasi sekarang yang sudah
mulai luntur akan nilai-nilai dari kesenian tersebut.
Padahal
di dalam kesenian Jawa, terkhusus wayang. Di sana terdapat nilai kesakralan
tersendiri. Wayang mengajarkan atau menggambarkan tentang kisah kehidupan dan
disitu terdapat pesan-pesan moral yang mencerminkan jiwa dari masyarakat jawa
itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pondok pesantren adalah lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan
pengajaran serta mengembangkan dan menyebarkan ilmu agama Islam. Sejarah pondok
pesantren di Jawa tidak lepas dari para wali sembilan atau lebih dikenal dengan
sebutan walisongo yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa pada khususnya, seperti
Sunan Ampel dengan Ampel Denta dan Sunan Giri dengan Giri Kedatonnya. Tujuan
utama pendidikan pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau wisdom
(kebijaksanaan) berdasarkan pada ajaran Islam yang dimaksud untuk meningkatkan
pemahaman tentang arti kehidupan serta realitas dari peran-peran dan
tanggungjawab sosial.
Revitalisasi budaya merupakan
revitalisasi yang terkait dengan pemikiran dan perasaan manusia. Hal ini
dikarenakan budaya merupakan hasil kerja pikiran dan perasaan manusia yang
terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Globalisasi merupakan proses yang mengarah
pada kemajuan yang cepat dalam teknologi komunikasi, transformasi dan informasi yang menyebabkan bagian dunia
yang semula jauh dapat dijangkau dengan mudah. Globalisasi membawa perubahan
dalam cara berpikir, bersikap, maupun gaya hidup kebudayaan lain, sehingga
beresiko mengikis budaya Jawa.
B.
Kritik dan Saran
Demikian
makalah yang kami buat, tentu saja tidak
luput dari kesalahan dan kekeliruan. Untuk itu,
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diperlukan dalam
memperbaiki makalah ini dan penyusunan makalah yang selanjutnya agar lebih baik
lagi. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita semua.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmed, Akbar S, Hasting Donnan. 1994. Islam, Globalization and
Postmodernity. (London:
Roudlege).
Amin, Darori, dkk,. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:
Gama Media).
Haedari, Amin dkk. 2004. MASA DEPAN PESANTREN Dalam Tantangan Modernitas dan
Tantangan Kompleksitas Global. (Jakarta: IRD PRESS).
Hariwijaya, M.
2006. Islam Kejawen. (Yogyakarta :
Gelombang Pasang).
Mukti, Ali,HA.
1986. Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan Nasional. (Surabaya:
IAIN Sunan Ampel).
Nugroho, Ruslan Arifin Suryo. 2007. Ziarah Wali. (Yogyakarta: Pustaka Timur).
Samsul Ma’arif. 2015. Pesantren
Inklusif Berbasis Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Kaukaba).
Suhandjati, Sri. 2015. ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA REVITALISASI KEARIFAN
LOKAL. (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya).
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. (Semarang: Dahara Prize).
Sunyoto,
Agus. 2016. Atlas Walisongo. (Bandung
: Pustaka Iiman).
Sutrisno, Budiono Hadi. 2007. Sejarah
Walisongo. (Yogyakarta: GRAHA PUSTAKA).
Wahyudi, Agus.
2013. Rahasia Makrifat Jawa. (Jogjakarta:
Dipta).
Woodward, Mark R. 2004.
Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus
Kebatinan. (Yogyakarta : LkiS).
[1] Ali,HA. Mukti, Pondok Pesantren dalam Sistem Pendidikan
Nasional. (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1986), hlm. 25.
[2] Samsul Ma’arif, Pesantren
Inklusif Berbasis Kearifan Lokal, (Yogyakarta: Kaukaba, 2015), hlm. 19.
[3]
Budiono
Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo, (Yogyakarta: GRHA PUSTAKA, 2007), hlm. 25-45.
[4] HM. Amin Haedari, dkk, MASA DEPAN PESANTREN Dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global, (Jakarta: IRD PRESS, 2004), hlm. 31.
[6] Agus Sunyoto, Atlas
Walisongo, (Bandung: Pustaka: IIMaN, 2016), hlm. 202.
[7] Sri Suhandjati. Islam dan Kebudayaan Jawa Revitalisasi
Kearifan Lokal. (Semarang: CV. Karya
Abadi Jaya, 2015), hlm. 123.
[8] Agus Wahyudi, Rahasia Makrifat Jawa, (Jogjakarta: Dipta,
2013), hlm. 35-36.
[9] M. Hariwijaya, Islam Kejawen, (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006), hlm. 210.
[10] Mark R, Woodward.Islam Jawa, (Yogyakarta:
LKiS Yogyakarta, 2004), hlm. 154.
[11] Akbar S Ahmed, Hasting Donnan, Islam, Globalization and Postmodernity,
(London: Roudlege, 1994), hlm. 1.
[12] Sri Suhandjati, Islam dan
Kebudayaan Jawa Revitalisasi Kearifan Lokal, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya,
2015), hal. 134-135.
Komentar
Posting Komentar